Mencari Terobosan Baru Dalam Shalat
Oleh: Ikhsan Ramazani
Dalam buku ini terasa sekali betapa tinggi ilmu Syaikh Akbar, Muhyiddin Ibn Arabi. Sesuai dengan judulnya, Revolusi Shalat benar-benar memiliki daya gugah dan daya ubah, apa yang diubah dan apa yang digugah tidak saja pengetahuan, sikap, paradigma seseorang melainkan juga ideologi atau tepatnya iman mengenai shalat itu sendiri. Selama ini kita menganggap shalat adalah upaya pendekatan vertikal kepada Allah, kita luput dan lalai bahwa di dalam praktik shalat, ada sesuatu yang tidak bisa diajarkan, tapi bisa dirasakan dan dialami langsung.
Sebelum Al-futûhât al-Makkiyah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di seluruh dunia buku ini telah mendapat sorotan kuat dan apresiasi besar dari sejumlah ulama, cendekiawan, dan pengkaji karya-karya Ibn Arabi, karena memang Al-futûhât al-Makkiyah (Revolusi Shalat) memiliki keunggulan dari buku-buku shalat yang lain, yang beredar luas di pasaran. Sepintas buku ini seperti alat pemindai jejak epistemik sejarah shalat. Pembahasannya sangat rinci dari sisi teoritik dan sangat lengkap dari sisi praktis. Ibn Arabi menggunakan shalat sebagai sebuah metodologi yang bekerja berdasarkan realitas sosial dan filsafat. Karya al-futûhât al-makkiyah sendiri sudah santer diperbincangkan sejak Ibn Arabi menuliskannya.
Di buku ini diterangkan waktu-waktu terlarang untuk shalat, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, ada lima waktu, yaitu ketika matahari terbit, ketika matahari terbenam, ketika matahari tegak lurus pada tengah hari (istiwâ’), setelah shalat subuh, dan setelah shalat ashar. Tentang penjelasan batin waktu-waktu tersebut: Allah memiliki perumpamaan yang agung (al-matsal al-a‘lâ), yaitu mentari kebenaran dan shalat munajat. Apabila al-Haqq memanifestasi, terjadilah kefanaan dan peleburan, sehingga bicara dan munajat tidak dibenarkan. Karena maqam Ilahi ini menunjukkan bahwa “Jika Dia menjadikanmu menyaksikan, maka Dia tidak berbicara kepadamu. Sebaliknya, jika Dia berbicara kepadamu, maka Dia tidak menjadikanmu menyaksikan,” kecuali bila manifestasi itu adalah dalam rupa. Ketika itu, bicara dan penyaksian bersatu. Jika yang menyaksikan itu gaib dari dirinya, maka munajat tidak dibenarkan, karena Rasulullah saw. bersabda, “Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.”
Pendek kata, buku revolusi shalat seperti menggabungkan serakan proyektil epistemologi tentang shalat, buku ini seakan mau memuaskan dan menutup ‘pintu kebimbangan’ kita terhadap banyaknya ilmu atau mazhab tentang cara shalat yang benar.
Hal yang menarik dari uraian buku ini mengangkat persoalan ‘debat kusir’ tentang tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh shalat seperti yang tidak boleh shalat di semua tempat yang tidak bernajis. Sebagian mereka mengecualikannya dengan tujuh tempat, yaitu tempat sampah, tempat penyembelihan, kuburan, tengah jalan, kamar mandi (tempat pemandian), tempat penambatan unta, dan di atas Ka‘bah. Sebagian lain mengecualikannya dengan kuburan dan tempat pemandian. Sebagian lagi mengecualikannya dengan kuburan saja. Di antara mereka ada juga yang memakruhkan shalat di tempat-tempat ini tetapi tidak membatalkan shalat. Bahkan ada pendapat tentang shalat di dalam biara dan gereja. Ada yang memakruhkannya, ada yang membolehkannya, dan ada yang membedakan apakah di dalamnya ada gambar (lukisan) atau tidak.
Shalat yang paling sempurna terdiri dari ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan. Namun, para wali Allah lebih pantas untuk menyempurnakan ibadah karena mereka bermunajat kepada Pemilik kesempurnaan Yang mewujudkan apa pun yang wajib bagi-Nya, karena hal itu diwajibkan atas mereka. Shalat merupakan cahaya, dan Allah melempar setan dengan cahaya. Dengan demikian, shalat dapat menjauhkan setan dari hamba. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-‘Ankabût [29]: 45). Itu disebabkan ihram (penghormatan) yang diatributkan padanya. Kalau bermakna fâ‘il, itu berarti apa yang dilemparkan hati hamba berupa pikiran-pikiran tercela dan waswas. Oleh karena itu, Rasulullah saw. apabila berdiri untuk menunaikan shalat pada malam hari dan bertakbiratul ihram, beliau mengucapkan, (Allah Mahabesar sebesar-besarnya [tiga kali]. Dan segala puji yang sebanyak-banyaknya bagi Allah [tiga kali]. Dan Mahasuci Allah pagi dan petang [tiga kali]. Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk dari tiupan, bisikan dan godaannya). Karena shalat artinya doa, boleh saja menjadikan doa sebagai salah satu bagian shalat.
Shalat memiliki hukum yang umum. Semua keadaannya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, tidak terpisah satu sama lain. Ia berdiri dengan keseluruhannya, rukuk dengan keseluruhannya, dan duduk dengan keseluruhannya. Semua alamnya telah menyatu dalam beribadah kepada Tuhannya dan mencari pertolongan dari-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Dan keadaan-keadaan seluruh peralihan dalam shalat dimaksudkan untuk meraih keteguhan dalam mewujudkan apa yang tampak kepadanya di dalam shalat tersebut. Sebab, jika ia terlalu terburu-buru sehingga tidak layak disebut orang rukû‘, maka ia akan kehilangan pengetahuan tentang “besar”, yang hanya bisa diraih oleh orang yang teguh.
Orang yang shalat memulai syahadatnya dengan mengaitkan Allah SWT dengan nama beliau, Muhammad, karena di situ terkumpul hal-hal yang terpuji, sehingga ia memang berhak “disetarakan.” Lalu ia menyebut “hamba Allah,” menyebutnya dengan sifat kehambaan yang khusus, agar diketahui bahwa beliau terbebas dari penghambaan kepada segala sesuatu selain Allah. Dan kemurnian penghambaan beliau kepada Allah tidak dikotori oleh apa pun. Lalu orang yang shalat mengaitkan kerasulan beliau kepada kehambaannya, sehingga dalam hal itu kehambaan beliau itu ditambah dengan dua kekhususan: kenabian dan kerasulan. Penyebutan kerasulan, bukan kenabian, karena kerasulan itu sendiri telah mencakup kenabian. Jika orang yang shalat hanya menyebut kenabian saja, maka kita tetap harus menyebutkan kekhususan beliau sebagai rasul. Perlunya disebutkan sifat khusus kerasulan beliau ini agar kita dapat membedakan beliau dari hamba-hamba Allah yang tidak memiliki kedudukan sebagai rasul, termasuk para nabi Allah. Inilah tasyahud dengan bahasa kesempurnaan.
Penjelasan shalat dalam buku ini sudah sangat terperinci kata demi kata. Sudah jelas bahwa manusia bisa berubah dan keadaannya bisa berbeda-beda, sehingga shalatnya berbeda-beda karena perbedaan keadaan-keadaannya. Perbedaan keadaan orang-orang yang shalat, yang telah kami ketengahkan seperti shalat orang yang sakit dan shalat orang yang ketakutan.
Akhirul kalam, dua endorsment yang diberikan oleh Prof. Kautsar Azhari Noer dan Dr. Ammar Fauzi sudah dapat mengantarkan ke pintu gerbang imaji yang sangat tinggi dan brilian ihwal shalat. Adapun kekurangan dalam terjemahan buku ini dapat dimaklumi seperti kurang lengkap dalam menyebutkan ‘para ulama berpendapat’ siapakah para ulama yang dimaksud? Dan sayang sekali, edisinya softcover dan tidak ada indeks, padahal ini buku referensi handal, belum pernah diterjemahkan oleh penerbit-penerbit Islam di Indonesia. Meski naskah asli buku ini cukup berat dari teks Arabnya tetapi, terjemahannya cukup memadai, gaya selingkung editor yang cukup profesional membuat keterbacaan teksnya mudah dipahami. Pembaca yang budiman akan merasa berutang budi dengan penerbit yang telah rela dan mau menerbitkan buku tentang mahkota ilmu shalat yang sebenarnya sehingga Anda bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran, bukan sebagai kebetulan, termasuk untuk urusan shalat.[]
Spesifikasi Buku:
Judul Indonesia : Revolusi Shalat
Karangan : Ibn Arabi (1165-1245 M)
Terjemahan dari : Al-Futuhat Al-Makkiya, terbitan Dar Shadir, Beirut, t.t.
Penerjemah : Irwan Kurniawan
Penyunting : Abdullah Hasan
Edisi : Softcover
Jumlah halaman : 573
Ukuran buku : 15,5 x 23,5 cm
ISBN : 978-602-8631-04-4
Komentar