“Di langit tidak ada benar dan salah, tidak ada timur dan barat, selatan dan utara. Manusia bumi yang membuat batas, lalu membatasinya dan kemudian mempercayainya sebagai kebenaran.”
3 Oktober 2011. Perkataan Budha di atas terngiang kala saya, bersama keluarga, terbang dari Bandung, Jawa Barat, menuju Medan, Sumatera Utara. Dari udara, hanya gumpalan awan yang semata tampak. Terbang di atas gumpalan awan yang mengandung banyak air. Sementara, di bawah banyak perigi kering, sawah kering, hujan-kebanjiran, kemarau-kekeringan.
Tujuh belas tahun meninggalkan Medan. Rasanya laksana baru semalam saja. Keadaan kota ini berubah pesat. Seperti kota-kota besar di Indonesia lainnya, pemandangannya malah tampak seragam. Apartemen tinggi menjulang bagai ilalang, hotel bintang lima ada di mana-mana, perumahan mewah tumbuh seperti kerapu di tubir batu, dan restoran siap saji berserak di tiap persimpangan.
Rumah makan dari berbagai etnis, seperti Sunda, Batak, Minang, Mandailing, Aceh, atau Melayu, hadir menyemarakkan suasana kota. Di sini, restoran Sunda kelas VIP banyak diserbu peminat. Padahal, kita tahu, orang Medan tak suka makanan manis. Senangnya pedas. Tapi itu bisa dipahami mengingat rata-rata pejabat daerah Kota Medan atau karyawan instansi-instansi pemerintah biasanya disekolahkan di Bandung. Jadi, mencicipi masakan Sunda merupakan nostalgia tersendiri.
Bagi penduduk Medan, Bandung bukanlah kota yang asing, malah akrab sekali. Dan jika orang Medan berjumpa dengan orang luar kota, cenderung sudah terbayang bahwa yang bersangkutan datang dari Bandung. Lantaran populernya Kota Bandung, ada roti yang dinamakan roti Bandung, ada sekolah yang dinamakan sekolah Bandung, ada baju, celana, distro (fashion) yang dimereki Bandung, ada makanan cemilan wajid Bandung. Seolah-olah apa pun yang berasal dari Bandung laku dijual. Sekalipun itu diproduksi di Medan.
Akan tetapi, Sunda sendiri hanyalah salah satu etnis yang mendiami Medan. Dalam situs pemerintah Kota Medan, disebutkan adanya sejumlah etnis dominan lain. Etnis tersebut adalah Melayu, Karo, Mandailing, Batak, Minang, Tionghoa, India, Aceh, atau Jawa.
Soal makanan pun terjadi pergeseran selera. Dahulu, makannya mi so (bukan mi sop atau bakso), sate kerang, nasi goreng, kwitiaw, mie goreng. Tapi, sekarang kebanyakan bakso atau steak. Dan yang lagi digandrungi adalah semua yang serba penyet (pekprek, ditokok, ditumbuk). Mulai dari ayam penyet, sapi penyet, atau daging lembu penyet.
Jalanan
Perubahan lain, dari kacamata saya yang baru pulang, adalah adanya satu jalan baru di Kota Medan. Namanya Ring Road-Gagak Hitam. Jalan ini menghubungkan banyak jalan yang dahulu tak pernah terhubung. Tiap Sabtu malam, jalan tersebut digunakan sebagai ajang balapan liar dan kongko anak muda-mudi, diantaranya geng motor.
Dalam hal perilaku berkendara, ada hal-hal yang barangkali sudah biasa bagi orang Medan namun bisa jadi mengejutkan bagi orang luar Medan. Jika Anda menggunakan kereta (sepeda motor), jangan heran jika sebentar-sebentar diklakson, entah oleh kereta lain, betor (becak motor), atau oleh motor (mobil). Entah apa maksudnya. Barangkali dikira jalan punya ayahandanya.
Di kota ini lalu lintas juga sangat padat. Betor tua, sepeda, kereta atau inang-inang pencari makanan ternak akan berselisih dengan Jaguar, Pajero, Sport, Fortuner, Alphard, Hummer, Ford, dan macam-macam jenis mobil mewah lainnya.
Masih di jalanan, ada hal unik lain yang bisa terjadi jika Anda kebetulan sedang naik angkutan kota (angkot). Jika Anda bayar ongkos dengan uang pas, supirnya terima. Tapi jika Anda bayar dengan uang lebih, kembaliannya bisa jadi tak pas. Ongkosnya bisa lebih mahal, naik seribu rupiah.
Pun, jangan kaget jika kecepatan rata-rata angkot adalah 80-100 kilometer per jam. Sesama angkot bisa saling pacu adu untuk mendapatkan doku. Terkait dengan pacu angkot ini, satu hal memang belum berubah: melanggar lampu merah adalah sudah biasa.
Tak Berbudaya Tunggal
Medan sebenarnya tidak memiliki kultur budaya yang tunggal. Jika ada yang berkata Medan adalah identik dengan Batak, itu salah besar. Parahnya lagi, dalam tayangan-tayangan media dari tanah yang jauh, baik dalam liputan feature berita maupun sinetron, stereotip Medan adalah Batak dan Batak adalah Medan terus diulang-ulang. Ini adalah kedunguan yang dipelihara. Oknum yang membuat skrip berita atau skrip sinetron pastilah bukan orang yang berwawasan, atau mengenal kota Medan dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Di Medan, yang menjadi lingua franca adalah bahasa Indonesia/Melayu. Orang India menggunakan bahasa India, orang Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa dialek Mandarin dan Hokkian, begitu pula dengan suku Batak, Aceh, Karo, Mandailing, atau Jawa. Lantaran pergaulan yang plural, di Medan rata-rata orang bisa berbahasa daerah lebih dari satu.
Lalu apa yang menyatukan semua perbedaan tersebut? Jawabnya tak lain azas saling membutuhkan sesama makhluk hidup. Orang Tionghoa butuh orang Melayu, orang Batak butuh orang Jawa, dan seterusnya.
“Peringatan Dini”
Tingkat kriminalitas di Medan cukup tinggi, utamanya pencurian. Macam-macam bisa dicuri, termasuk besi tangki penampungan bak sampah di sebuah perumahan penduduk. Besi itu didedel, yakni dicuri dengan cara dibelah sedikit demi sedikit.
Perilaku orang di Medan pun bawaannya curiga. Jika Anda pernah tinggal di Bandung, masuk mini market, supermarket, mal, atau bank dengan menggunakan celana pendek atau pakaian seadanya, orang tak ada soal. Tapi di Medan lain. Jika Anda menggunakan pakaian seperti di atas, Anda bisa didekati petugas. Tak peduli Anda berlagak macam orang kaya sekalipun. Sebagai pembeli, Anda bisa jengah. Namanya saja swalayan, yang bearti melayani sendiri.
Suatu kali, saya mengalami satu hal menggelikan ketika hendak mengambil uang tunai di bank. Bukan soal pakaian, tetapi foto. Karena rekening saya berasal dari cabang Bandung, maka petugas menanyakan kartu identitas lain. Penulis menyerahkan SIM C. Tapi, rambut saya masih botak di foto di SIM itu, sedangkan kini sudah panjang sebahu alias gondrong.
Tak puas, petugas bank tadi menanyakan lagi kartu identitas lain. Saya menunjukkan KTP Bandung. Di KTP, pas fotonya berambut pendek. Dan si petugas bank masih bingung.
“Peringatan dini” lainnya adalah dalam soal berbisnis. Orang Medan rata-rata jago ngomong dan ngoceh soal bisnis. Tapi, begitu diajak kerja-sama belum tentu mau. Di Medan, orang yang lihai berbicara disebutnya ‘ular’.
Kota Religius
Medan adalah kota besar kedua setelah Surabaya. Di sini, kegiatan keagamaan sering diadakan. Yang muslim rajin mengadakan tabligh akbar, bergilir antar masjid. Yang nasrani sering menggelar pelayanan rohani gereja, pengabaran Injil. Begitu pula dengan agama lainnya, seperti Budha, Konghucu, atau Hindu.
Pemandangan ini lazim kalau Anda berada di Medan. Dan ini ditunjang dengan sekolah-sekolah umum yang secara jelas memakai kata agama untuk menunjukkan eksistensinya. Sebut saja sekolah Kristen A, sekolah Islam B, atau sekolah Budha C.
Selain itu, di Medan juga bisa didapati vihara dan kelenteng yang megah, setara dengan dengan masjid-masjid raya umat muslim. Dan barangkali hanya di Medan pula terdapat gereja yang khusus berbahasa Tionghoa.
Secuil Istilah Medan
Pasar = Jalan
Pasar hitam = Jalan Raya
Pajak = Pasar
Nokoh = Nipu
Pauk = Bodoh
Pigi = Pergi
Cemana = Bagaimana
Limpul = Lima puluh
Mencong = Kurang lurus
Mereng = Miring
Orang rumah = Istri
Kereta = Sepeda motor
Motor = Mobil
Martil = Palu
Mentel = Genit
Mentiko = Berlagak
Merepet = Marah-marah/ngomel
Karton = Kardus
Nelap = Mencuri dengan cara diam-diam
Bos = Orangtua
Kombur = Cerita bohong
Kera = Hitung
Semalam = Kemarin
Enceng = Selesai/tamat
3 Oktober 2011. Perkataan Budha di atas terngiang kala saya, bersama keluarga, terbang dari Bandung, Jawa Barat, menuju Medan, Sumatera Utara. Dari udara, hanya gumpalan awan yang semata tampak. Terbang di atas gumpalan awan yang mengandung banyak air. Sementara, di bawah banyak perigi kering, sawah kering, hujan-kebanjiran, kemarau-kekeringan.
Tujuh belas tahun meninggalkan Medan. Rasanya laksana baru semalam saja. Keadaan kota ini berubah pesat. Seperti kota-kota besar di Indonesia lainnya, pemandangannya malah tampak seragam. Apartemen tinggi menjulang bagai ilalang, hotel bintang lima ada di mana-mana, perumahan mewah tumbuh seperti kerapu di tubir batu, dan restoran siap saji berserak di tiap persimpangan.
Rumah makan dari berbagai etnis, seperti Sunda, Batak, Minang, Mandailing, Aceh, atau Melayu, hadir menyemarakkan suasana kota. Di sini, restoran Sunda kelas VIP banyak diserbu peminat. Padahal, kita tahu, orang Medan tak suka makanan manis. Senangnya pedas. Tapi itu bisa dipahami mengingat rata-rata pejabat daerah Kota Medan atau karyawan instansi-instansi pemerintah biasanya disekolahkan di Bandung. Jadi, mencicipi masakan Sunda merupakan nostalgia tersendiri.
Bagi penduduk Medan, Bandung bukanlah kota yang asing, malah akrab sekali. Dan jika orang Medan berjumpa dengan orang luar kota, cenderung sudah terbayang bahwa yang bersangkutan datang dari Bandung. Lantaran populernya Kota Bandung, ada roti yang dinamakan roti Bandung, ada sekolah yang dinamakan sekolah Bandung, ada baju, celana, distro (fashion) yang dimereki Bandung, ada makanan cemilan wajid Bandung. Seolah-olah apa pun yang berasal dari Bandung laku dijual. Sekalipun itu diproduksi di Medan.
Akan tetapi, Sunda sendiri hanyalah salah satu etnis yang mendiami Medan. Dalam situs pemerintah Kota Medan, disebutkan adanya sejumlah etnis dominan lain. Etnis tersebut adalah Melayu, Karo, Mandailing, Batak, Minang, Tionghoa, India, Aceh, atau Jawa.
Soal makanan pun terjadi pergeseran selera. Dahulu, makannya mi so (bukan mi sop atau bakso), sate kerang, nasi goreng, kwitiaw, mie goreng. Tapi, sekarang kebanyakan bakso atau steak. Dan yang lagi digandrungi adalah semua yang serba penyet (pekprek, ditokok, ditumbuk). Mulai dari ayam penyet, sapi penyet, atau daging lembu penyet.
Jalanan
Perubahan lain, dari kacamata saya yang baru pulang, adalah adanya satu jalan baru di Kota Medan. Namanya Ring Road-Gagak Hitam. Jalan ini menghubungkan banyak jalan yang dahulu tak pernah terhubung. Tiap Sabtu malam, jalan tersebut digunakan sebagai ajang balapan liar dan kongko anak muda-mudi, diantaranya geng motor.
Dalam hal perilaku berkendara, ada hal-hal yang barangkali sudah biasa bagi orang Medan namun bisa jadi mengejutkan bagi orang luar Medan. Jika Anda menggunakan kereta (sepeda motor), jangan heran jika sebentar-sebentar diklakson, entah oleh kereta lain, betor (becak motor), atau oleh motor (mobil). Entah apa maksudnya. Barangkali dikira jalan punya ayahandanya.
Di kota ini lalu lintas juga sangat padat. Betor tua, sepeda, kereta atau inang-inang pencari makanan ternak akan berselisih dengan Jaguar, Pajero, Sport, Fortuner, Alphard, Hummer, Ford, dan macam-macam jenis mobil mewah lainnya.
Masih di jalanan, ada hal unik lain yang bisa terjadi jika Anda kebetulan sedang naik angkutan kota (angkot). Jika Anda bayar ongkos dengan uang pas, supirnya terima. Tapi jika Anda bayar dengan uang lebih, kembaliannya bisa jadi tak pas. Ongkosnya bisa lebih mahal, naik seribu rupiah.
Pun, jangan kaget jika kecepatan rata-rata angkot adalah 80-100 kilometer per jam. Sesama angkot bisa saling pacu adu untuk mendapatkan doku. Terkait dengan pacu angkot ini, satu hal memang belum berubah: melanggar lampu merah adalah sudah biasa.
Tak Berbudaya Tunggal
Medan sebenarnya tidak memiliki kultur budaya yang tunggal. Jika ada yang berkata Medan adalah identik dengan Batak, itu salah besar. Parahnya lagi, dalam tayangan-tayangan media dari tanah yang jauh, baik dalam liputan feature berita maupun sinetron, stereotip Medan adalah Batak dan Batak adalah Medan terus diulang-ulang. Ini adalah kedunguan yang dipelihara. Oknum yang membuat skrip berita atau skrip sinetron pastilah bukan orang yang berwawasan, atau mengenal kota Medan dan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Di Medan, yang menjadi lingua franca adalah bahasa Indonesia/Melayu. Orang India menggunakan bahasa India, orang Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa dialek Mandarin dan Hokkian, begitu pula dengan suku Batak, Aceh, Karo, Mandailing, atau Jawa. Lantaran pergaulan yang plural, di Medan rata-rata orang bisa berbahasa daerah lebih dari satu.
Lalu apa yang menyatukan semua perbedaan tersebut? Jawabnya tak lain azas saling membutuhkan sesama makhluk hidup. Orang Tionghoa butuh orang Melayu, orang Batak butuh orang Jawa, dan seterusnya.
“Peringatan Dini”
Tingkat kriminalitas di Medan cukup tinggi, utamanya pencurian. Macam-macam bisa dicuri, termasuk besi tangki penampungan bak sampah di sebuah perumahan penduduk. Besi itu didedel, yakni dicuri dengan cara dibelah sedikit demi sedikit.
Perilaku orang di Medan pun bawaannya curiga. Jika Anda pernah tinggal di Bandung, masuk mini market, supermarket, mal, atau bank dengan menggunakan celana pendek atau pakaian seadanya, orang tak ada soal. Tapi di Medan lain. Jika Anda menggunakan pakaian seperti di atas, Anda bisa didekati petugas. Tak peduli Anda berlagak macam orang kaya sekalipun. Sebagai pembeli, Anda bisa jengah. Namanya saja swalayan, yang bearti melayani sendiri.
Suatu kali, saya mengalami satu hal menggelikan ketika hendak mengambil uang tunai di bank. Bukan soal pakaian, tetapi foto. Karena rekening saya berasal dari cabang Bandung, maka petugas menanyakan kartu identitas lain. Penulis menyerahkan SIM C. Tapi, rambut saya masih botak di foto di SIM itu, sedangkan kini sudah panjang sebahu alias gondrong.
Tak puas, petugas bank tadi menanyakan lagi kartu identitas lain. Saya menunjukkan KTP Bandung. Di KTP, pas fotonya berambut pendek. Dan si petugas bank masih bingung.
“Peringatan dini” lainnya adalah dalam soal berbisnis. Orang Medan rata-rata jago ngomong dan ngoceh soal bisnis. Tapi, begitu diajak kerja-sama belum tentu mau. Di Medan, orang yang lihai berbicara disebutnya ‘ular’.
Kota Religius
Medan adalah kota besar kedua setelah Surabaya. Di sini, kegiatan keagamaan sering diadakan. Yang muslim rajin mengadakan tabligh akbar, bergilir antar masjid. Yang nasrani sering menggelar pelayanan rohani gereja, pengabaran Injil. Begitu pula dengan agama lainnya, seperti Budha, Konghucu, atau Hindu.
Pemandangan ini lazim kalau Anda berada di Medan. Dan ini ditunjang dengan sekolah-sekolah umum yang secara jelas memakai kata agama untuk menunjukkan eksistensinya. Sebut saja sekolah Kristen A, sekolah Islam B, atau sekolah Budha C.
Selain itu, di Medan juga bisa didapati vihara dan kelenteng yang megah, setara dengan dengan masjid-masjid raya umat muslim. Dan barangkali hanya di Medan pula terdapat gereja yang khusus berbahasa Tionghoa.
Secuil Istilah Medan
Pasar = Jalan
Pasar hitam = Jalan Raya
Pajak = Pasar
Nokoh = Nipu
Pauk = Bodoh
Pigi = Pergi
Cemana = Bagaimana
Limpul = Lima puluh
Mencong = Kurang lurus
Mereng = Miring
Orang rumah = Istri
Kereta = Sepeda motor
Motor = Mobil
Martil = Palu
Mentel = Genit
Mentiko = Berlagak
Merepet = Marah-marah/ngomel
Karton = Kardus
Nelap = Mencuri dengan cara diam-diam
Bos = Orangtua
Kombur = Cerita bohong
Kera = Hitung
Semalam = Kemarin
Enceng = Selesai/tamat
http://www.lenteratimur.com/medan-setelah-17-tahun/
Komentar