Ringkasan terjemah ayat mubâhalah
Diantara tonggak
penting ajaran kelompok syiah adalah ajaran tentang imamah. Dengan berbagai
macam versi pengakuan terhadapnya sub-sub kelompok ini sepakat akan urgensinya
dalam keberIslaman.
Secara bahasa
imamah dapat diartikan sebagai kepemimpinan. Dan secara istilah kata ini
dimaksudkan adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thôlib dan keturunan biologisnya
atas agama Islam pasca wafat rasulullah saw.
Dalam masalah
imamah Ali bin Abî Thôlib terdapat banyak dalil yang dijadikan rujukan kelompok
syiah. Dalil-dalil itu tersebar dalam Al-Quran dan hadist. Salah satu dalil
yang terdapat dalam Al-Quran adalah surat Âli ‘Imrôn 61 yang kemudian dinamai
dengan ayat mubâhalah (sumpah pocong).
Dalam menerangkan
masalah imamah dari ayat ini penulis kitab ini, Sayyid Ali Husain Al-Milâni,
menyadari benar adanya banyak pendapat dalam masalah ini. Dan pendapat-pendapat
itu banyak waktu tidak bisa dipertemukan kecuali dengan mengalahkan antara satu
dengan lainnya.
Oleh karena itu
sebelum pembahasan masuk lebih jauh beliau mengajak pembaca untuk mendiskusikan
dalil-dalil apa saja yang dapat dijadikan dasar dalam penafsiran ayat ini.
Beliau mengusulkan
bahwa dalil yang perlu untuk disepakati secara aklamasi adalah Al-Quran dan
akal sehat. Al-Quran yang beliau maksudkan adalah Al-Quran rasm ‘Utsmâni
yang merupakan kitab suci bagi semua umat Islam. Al-Quran ini juga yang tampak
dalam situs yang memuat kitab ini.
Adapun mengenai
kitab hadist beliau mengajukan tawaran berkeadilan. Kelompok syiah sebenarnya
tidak mengakui kesahihan kitab-kitab sahih yang diakui oleh kelompok sunni
seperti sahih Bukhori, Muslim dan lainnya. Mereka mempunyai dasar sendiri dalam
penolakannya terhadap kitab-kitab ini.
Namun begitu untuk
kepentingan diskusi maka beliau menawarkan dua usulan dalam pengakuan terhadap
kitab-kitab sahih ini. Pertama, kalau disepakati bahwa hadist-hadist dalam
kitab ini dapat dijadikan dalil maka hadist-hadist dalam kitab-kitab hadist
yang diakui oleh kelompok syiah harus diakui juga. Seperti Ushûl Al-Kâfî dan
Al-Kâfî.
Dan kedua, yaitu
apabila para diskusan tidak mengakui kitab-kitab hadist yang diakui oleh
kelompok syiah maka beliau juga tidak akan mengakui kitab-kitab hadist yang
diakui oleh kelompok sunni.
Pada bab
selanjutnya, penulis membagi hadist-hadist yang berhubungan dengan imamah
menjadi dua kelompok besar. Pertama, adalah hadist-hadist yang menerangkan
sya’nu nuzul (situasi turun) ayat mubâhalah. Dan kedua, hadist-hadist yang
menunjukkan kepada imamah setelah wafat rasulullah saw. Yang kemudian dibagi
menjadi tiga sub bagian.
Kemudian berikutnya
beliau lebih menfokuskan kepada pembahasan tentang imamah lebih mendalam. Oleh
karena itu beliau memberi judul pada bab ini dengan : Pentingnya pembahasan
tentang imamah.
Pada bab ini beliau
menguraikan bahwa pengetahuan akan imam didasari oleh tiga hal mendasar.
Pertama, adalah bahwa imam merupakan rujukan umat Islam dalam masalah berIslam.
Kedua ia adalah penengah ketika terjadi perbedaan pendapat. Ketiga, karena ia
adalah perantara antara umat Islam dan Tuhan.
Khusus dalam
masalah ketiga penulis memberikan pernyataan teleologis sebagaimana berikut.
Kita hanya ingin mengetahuinya dan menjadikan penengah antara kita
dan Tuhan kita, sehingga ketika kita ditanya pada hari kiamat tentang imam,
yaitu ketika ketika kita ditanya pada hari kiamat kenapa engkau berbuat seperti
ini ? kenapa engkau meninggal hal itu ? Aku menjawab : Imamku berkata kerjakan
hal ini, imamku berkata jangan mengerjakan itu, maka pada waktu itu soal
menjadi terputus.
Kemudian beliau
juga menjabarkan bahwa masalah imamah adalah berbeda dengan masalah
pemerintahan atau negara. Meskipun kedua masalah ini tercakup di dalamnya.
Beliau juga
menerangkan bahwa pembahasan tentang imamah ini tidak bisa dihentikan oleh
penghalang-penghalang yang bersifat teknis seperti, apakah imam ini seorang
hakim atau bukan, apakah ia harus hadir atau masih gaib dan masalah-masalah
teknis lainnya.
Dan yang tidak
kalah pentingnya dalam pembahasan bab ini adalah masalah metode yang dipakai
seseorang dalam mengetahui imam. Penulis berkeyakinan bahwa metode dalam
mengetahui imam merupakan suatu perilaku yang akan dipertanggungjawabkan pada
hari Perhitungan kelak. Artinya apabila seseorang melaksanakan suatu metode
pengetahuan dalam hal ini tanpa petunjuk dan ia salah maka pengetahuan dan
sekaligus penetapannya tentang imam akan ditolak oleh Tuhan.
Komentar